Sementara dalam jangka pendek pada tahun 2021 diperkirakan pertumbuhan ekonomi dengan best scenario sebesar 2,41 persen dan worst scenario sebesar 1,29 persen.
Didin menerangkan, walaupun pemerintah sering mengatakan fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat dalam menangani pandemi Covid-19, namun kenyataannya tidak seperti itu. Beban utang pemerintah yang meningkat, kesulitan menyusun ulang APBN 2020 dan 2021, justru memperlihatkan fundamental ekonomi sedang rapuh.
Salah satu indikator mengukur risiko utang adalah dengan rasio debt service (DSR) terhadap penerimaan pada 2019 yang mencapai 38,31 persen, sedikit turun dari 2018 yang sebesar 39,06 persen. Jika APBN 2020 menurut Perpres 72/2020 bisa sesuai target, maka rasio tersebut bisa lebih dari 45 persen.
“Padahal batas atas yang direkomendasikan oleh International Monetary Fund (IMF) hanya sebesar 35 persen. Tren naiknya rasio ini mengindikasikan penerimaan negara tidak sebesar peningkatan pembayaran cicilan pokok dan bunga setiap tahunnya,” terangnya.
Didin menilai alasan pemerintah menambah belanja APBN 2021 masih bisa diterima. Namun semestinya ada langkah serius dalam mengurangi belanja lainnya yang tidak berkaitan langsung dengan mitigasi dampak pandemi Covid-19, dan upaya pemulihan ekonomi. Seperti belanja pegawai, belanja barang dan belanja pembayaran bunga utang.
“Dengan penghematan tersebut ruang fiskal untuk melakukan stimulus kesehatan, bantuan sosial dan UMKM dapat diperbesar sehingga dapat mempercepat pemulihan ekonomi Indonesia pada 2021,” jelasnya.
Lebih jauh, Didin menekankan perlu adanya sanksi yang lebih tegas seperti pemangkasan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap pemerintah daerah yang lambat melakukan revisi Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Dengan demikian diharapkan siklus anggaran pada saat terjadinya resesi ekonomi bisa jauh lebih cepat dan berbeda dibandingkan siklus anggaran pada saat ekonomi dalam keadaan normal.